MEDIAINI.COM – Jika memiliki fondasi yang kuat, sebuah bisnis di industri apapun bisa berkembang dan bertumbuh makin tinggi. Bahkan dari yang awalnya lokal, bisa jadi go international dalam waktu yang tak lama.
Di industri tas, ada Rorokenes, contoh brand yang bisa mengembangkan sayapnya mencapai benua lain di luar nusantara.
Hobi yang Jadi Pundi-Pundi
Syanaz Nadya Winanto Putri mengawali Rorokenes dari hobi. Layaknya wanita lain yang rajin berkutat di dunia fesyen, Syanaz pun demikian. Ia mengidamkan memiliki koleksi tas berkelas internasional yang memiliki harga setinggi langit. Menurut Syanaz, semua berawal dari kegagalannya memiliki tas Bottega seharga 30 juta. Brand Itali yang memiliki ciri khas serba anyaman.
Mengerti akan kecintaannya akan tas tersebut, sang ayah pun menantangnnya untuk membuat tas dengan desain yang hampir sama. Syanaz pun tertantang. Ia langsung menggelar riset hingga bertandang ke pabrik kulit. Setelah mencari tukang yang dirasa pas bisa memenuhi permintaannya, ia pun langsung berproduksi. Setelah sebelumnya tentu saja, belajar singkat soal ilmu bisnis.
Untuk desain, Syanaz mencari referensi dari banyak tempat terutama Pinterest dan buku-buku tentang desain tas. Begitu ketemu model yang disuka, kemudian ia memodifikasi sesuai selera. Inovasi dan modifikasi, adalah resep khusus yang dikembangkan Syanaz. Jadi produknya menjadi unik, tak mirip dengan produk lain yang telah lebih dulu lahir. Bersama tim produksinya, ia kerap membongkar-pasang anyaman yang dibelinya dari NTT, Lombok, dan tempat lain.
Dari usaha rumahan kecil, kini Rorokenes sudah terbang hingga luar negeri seperti Belanda, Hong Kong, Australia, Singapura, dan Jepang. Di masa puncak sebelum pandemi, Syanaz memproduksi hingga 800 pieces tas dan hampers untuk corporate. Semua itu diproduksi oleh 12 pegawai in house dan sisanya alih daya.
Untuk setiap jenis produk, ia menamainya dengan istilah-istilah khas tradisional Jawa. Seperti Srikandi, Dahayu, Keong Ayu, Kamandhaka atau Larasati. Harga produknya sendiri dijual dari Rp 150 ribu sampai Rp 3 juta.
Sejajar dengan LV dan Hermes
View this post on Instagram
Untuk mempertahankan kualitas, Syanaz menggunakan bahan-bahan terbaik dari kulit sapi atau domba lokal. Ia bekerjasama dengan supplier yang benar-benar sudah memiliki SNI dan ISO.
Penggunaan bahan berkualitas dan desain yang mewah ini ternyata melahirkan musibah yang berbuntut berkah. Suatu saat di bulan Agustus 2019, ia harus berurusan dengan pihak bandara Moscow ketika akan mengikuti pameran produk kerajinan tangan asal Indonesia di Rusia.
Ia menjalani pemeriksaan selama empat jam. Bahkan 10 tas Rorokenes ditahan di Bandara Domodedovo Moskow karena dianggap menggunakan bahan kulit eksotis premium yang harus dilengkapi dokumen.
Meskipun telah mengaku bahwa tas buatannya tidak semahal produk high-end lain seperti LV, Bottega, atau Channel, namun pihak otoritas bandara tetap menyatakan bahwa hasil kurasi menyebutkan kualitas Rorokenes sama dengan tas branded seperti Bottega, Hermes, Louis Vuitton, Chanel, Gucci, atau Dolce Gabbana.
Tak Masuk Marketplace
Rorokenes memiliki showroom di Banyumanik Semarang. Selain itu, Syanaz juga mempromosikan produknya via website, akun Instagram, dan lewat aktif ikut serta dalam pameran fesyen seperti Jakarta Fashion Week. Tak jarang, Syanaz yang baru saja terpilih sebagai anggota Industri Kreatif Syariah Indonesia (IKRA) ini juga ambil bagian mewakili Indonesia dalam pameran bisnis di mancanegara.
Rorokenes memang belum masuk ke dalam marketplace. Menurut Syanaz, hal ini lantaran produknya adalah produk handcrafted yang tak bisa diproduksi masal. Ia membutuhkan waktu untuk melahirkan satu buah tas yang berkualitas maksimal.
“Saya juga belum menemukan marketplace yang sesuai dengan pricing produk saya. Dimana harga tas Rorokenes memang tergolong cukup tinggi,” ujar Syanaz kepada Mediaini.Com.
Baca juga : Layak Ditiru, Taktik Para Pengrajin Tas Menghadapi Pandemi Panjang
Tips Mengatasi Pandemi
Rorokenes yang telah memenangi Femina Award Inacraft pada 2017 dan menjadi konten video blibli.com untuk project the Big Start 2018 ini terus melaju mengarungi arus pandemi. Tapi karena tas bukan kebutuhan primer, maka omzet pun sempat turun hingga 35 % ketika virus menerjang. Grafik penurunan baru mulai mendatar di bulan Mei dan Juni.
Syanaz sendiri mulai Januari sudah menetapkan survival mode. “Begitu Desember 2019 ada berita corona, saya langsung menebak ini akan jadi global pandemic,” ujarnya.
Survival mode yang dilakukannya mulai dari meningkatkan stok bahan baku, dimana ada beberapa bahan yang diimpor dari luar negeri. Proses produksi Rorokenes pun menjadi aman hingga Juni. Ketika beberapa negara melakukan lockdown dan kegiatan ekspor impor terganggu, Rorokenes tak mengalami kenaikan harga baku sedikitpun.
Strategi kedua adalah defense, yaitu dengan cara mengumpulkan kapital sebanyak-banyaknya. “Jadi mulai Februari, saya meningkatkan penjualan dengan menggelar beragam promo. Alhamdulillah usaha saya berhasil.”
Keberhasilan itu membawa berkah bagi seluruh karyawan. Di badai pandemi, industri tas Rorokenes tak mengenal pengurangan karyawan, gaji tetap utuh, begitu juga dengan Tunjangan Hari Raya. (Intan Esti)



























Discussion about this post