JAKARTA, MEDIAINI.COM – Meski era silih berganti, masih ada segelintir masyarakat yang memandang sepele sebuah profesi, seniman tato misalnya. Selain doktrin ‘tato itu simbol berandalan’ yang belum sepenuhnya hilang dari Tanah Air, panggung bagi para seniman tato di Indonesia pun terbilang minim.
Meski demikian, Adi Ariesta tak bergeming dan terus melewati kesehariannya dengan seni memahat tubuh tersebut. Ditemui Mediaini.com di sebuah studio tato di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Arie, begitu sapaan akrabnya, berbagi kisah yang bisa menginspirasi para seniman tato lainnya di Indonesia.
Jauh sebelum mengenal tato, Arie hanyalah pria Bali pada umumnya. Kuliah di jurusan desain grafis, lalu bekerja pula sebagai karyawan bergaji bulanan dengan mengandalkan keahliannya menggambar di atas kanvas digital.
“Dulu sebelumnya (kerja di bidang) desain grafis, kuliah juga jurusannya desain grafis, bikin digital art seperti itu,” jawab Arie.
Namun, kecintaannya terhadap dunia menggambar tidak bisa dibendung oleh Corel Draw, Photoshop, Sketch, atau aplikasi desain grafis lainnya. Ia memerlukan media lainnya yang bisa dijadikan sebagai kanvas. Pilihan pun jatuh pada tubuhnya sendiri.
Pada awal tahun 2011, untuk pertama kalinya Arie merasakan jarum menusuk-nusuk pergelangan tangannya. Ya, tato perdana Arie ada pada pergelangan tangannya sendiri. Tapi, itu saja tidak cukup, karena ia tertantang untuk mempelajari seni tato tubuh.
“Karena senang menggambar, jadi saya beli mesin tato sendiri dari gaji saya kerja sekitar tahun 2015. Waktu itu mikirnya kayaknya seru, keren gitu. Tapi dulu itu gak ada basic sama sekali, jadi tatonya ke tubuh saya sendiri,” kenang Arie.
Perlahan tapi pasti, ia pun mulai menerima pesanan tato dari teman terdekatnya sendiri di Pulau Dewata. Singkat cerita, ia semakin jatuh cinta terhadap seni tato. Puncaknya, ia rela menanggalkan statusnya sebagai karyawan demi mengikuti kontes tato.
“Pertama kali ikut kontes tato tahun 2017 di Bali. Waktu itu dihadapkan pada dua pilihan, kerja terus jadi karyawan atau nekat mempertaruhkan hidup dengan jadi seniman tato. Modal nekat jadinya. Saya keluar (mengundurkan diri) dari pekerjaan saya sebelumnya. Pengin cari koneksi (di dunia tato). Gak ekspektasi, tapi langsung juara 4,” sambung Arie.
Setelah menanggalkan statusnya sebagai karyawan, ia pun membulatkan diri untuk menjadi seniman tato dengan membuka sebuah studio tato, yang sayangnya tidak bertahan lama.
“Setelah kontes, pede (percaya diri) kan. Langsung buka studio sendiri tahun 2018 awal, tapi cuma bertahan selama 6 bulan,” cerita Arie sembari dirinya mempersiapkan alat-alat tatonya karena bakal kedatangan pelanggan.
Titik Balik jadi Seniman Tato
View this post on Instagram
Namun, kegagalan tidak lantas menyurutkan tekad Arie untuk hidup dengan passion-nya. Akhirnya, ia pun menerima tawaran dari temannya untuk menjadi seorang seniman tato di sebuah studio, sembari menambah ilmu dan tentunya jaringan.
Perlahan tapi pasti, ia mulai bangkit. Arie mulai menerima pelanggan yang kebanyakan dari luar negeri, bule yang kebetulan tengah berlibur atau singgah di Pulau Dewata. Dari situlah, ia mulai dikenal oleh warga asing.
Kebanyakan pelanggan Arie dari luar negeri menilai konsep fine line tattoo yang menjadi ciri khas sentuhan Arie jarang dimiliki oleh seniman tato lainnya.
“Kalau saya lebih ke fine line, ngejar detail-detail kecil, tapi dengan area yang besar. Pengin ngubah fine line bukan cuma bisa di medium kulit yang kecil, tapi juga besar,” terang Arie.
Maka dari itu, ketika Arie mengutarakan niatnya untuk ke luar negeri, telah ada beberapa studio tato di sana yang membuka lebar pintunya kepada pria ramah ini. Lagi-lagi, ia berangkat bermodalkan insting, tekad, dan kenekatan untuk memperluas jelajah pasarnya.
“Respons di sana (luar negeri) positif banget. Dari situ, sekarang saya sudah dapat pelanggan tetap. Kadang, saya menolak juga kalau jadwal (menato) sudah padat,” tutur Arie.
Berdasarkan penelusuran Mediaini pada Instagram milik Arie ‘Pilgrim’ jadwal tatonya telah terisi hingga Oktober mendatang. Rinciannya, ia akan terbang ke Singapura pada Juli, kemudian bertolak ke Belanda pada September, dan akan bertandang ke Jerman pada bulan Oktober.
Pertahankan Prinsip dan Integritas
Meski namanya sudah mulai mendunia, ia tidak lantas lupa diri dan hanya mengejar materi. Menurutnya, prinsip dan integritas adalah perkara yang harus didahulukan.
“Jadi saya gak bakal tato kalau itu tidak sesuai dengan spesialisasi saya. Jadi saya dulu pernah menolak beberapa pelanggan karena mereka menginginkan gaya (tato) lain. Sebenarnya, saya bisa saja menerima, tapi kan tidak sesuai dengan passion saya. Jadi akhirnya saya sarankan untuk memakai jasa seniman tato lainnya,” imbuhnya.
Selama menjadi ‘pemahat kulit’, Arie mengakui dirinya telah melewati sejumlah tantangan.
“Tantangannya jadi seniman tato, ngadepin orang beda-beda. Desainnya kan kustom, jadi untuk translate dari keinginan pelanggan agar bisa divisualisasikan jadi tato. Itu tantangannya,” jelasnya.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Arie memiliki sejumlah treatment kepada para pelanggannya.
“Ada konsultasi, kasih main idea-nya apa, garis besarnya seperti apa. Terus placement di bagian tubuh mana. Kalau bagian mana yang sulit, paling sulit mentato di area yang banyak gerak, seperti perut, dada, dan leher. Itu biasanya perlu waktu yang lebih lama,” pungkasnya. (Tivan)