JAKARTA, MEDIAINI.COM – Di mancanegara, bisnis tato cukup memiliki pasar yang besar, mengingat sudut pandang masyarakatnya yang lebih terbuka. Sedangkan di Indonesia, banyak risiko yang menghantui bisnis ini.
Meski demikian, seniman tato asal Bali, Adi Ariesta menjelaskan bahwa tato masih memiliki potensi bisnis yang besar di Indonesia.
“Tato bisa jadi bisnis yg profitable, namun juga punya risiko yang besar, karena secara langsung berhubungan dengan kulit dan darah,” kata pria yang karib disapa Arie itu kepada Mediaini.com di Kemayoran, Jakarta Pusat, pada Selasa (24/5/2022).
Modal Bisnis Tato dari Promosi hingga Pengelolaan Limbah
Selain berisiko, ada beberapa faktor lainnya yang harus dipertimbangkan sebelum memulai bisnis ini. Salah satunya adalah marketing dan promosi. Seperti yang kita ketahui, masih banyak masyarakat Indonesia yang masih menganggap tabu soal tato. Kemudian, pengelolaan limbah dan higienitas alat dan studio tato pun wajib diperhatikan.
“Beberapa hal yang harus kita perhatikan disamping skill dan marketing/promotion serta networking yang bagus adalah higienitas dan pengelolaan limbah yang tepat dan sesuai standar,” imbuh pria yang memulai karirnya sebagai seniman tato pada 2017 itu.
Seandainya faktor-faktor tersebut sudah sesuai dirasa memadai, selanjutnya tinggal memaksimalkan branding melalui promosi dan jaringan bisnis yang dimiliki.
“Untuk target marketnya, di Indonesia sendiri tato masih dianggap hal yang tabu untuk beberapa kalangan atau daerah tertentu. Namun yang saya lihat saat ini persepsi masyarakat tentang tato sudah mulai bergeser ke arah positif. Saya rasa bisnis tato di Indonesia saat ini dalam tahap bertumbuh,” imbuhnya.
Arie juga mengingatkan, butuh kesabaran dan tekad agar bisa bertahan di industri ini. Dalam membangun studio tato misalnya, ia menyarankan untuk lebih fokus pada mematangkan konsep apa studio tato yang akan dibuat agar tidak tersandung biaya.
“Untuk biaya studio, bisa jadi sangat beragam, tergantung seberapa ‘mewah’ studio yg ingin dibuat. Berapa bed yang tersedia, dan berapa tim yang ingin dipekerjakan,” tambah Arie.
“Biaya yang dibutuhkan menurut saya relatif besar untuk studio tato kecil, karena di samping biaya disposable yang harus diperbarui secara berkala, masih ada biaya mesin tato dan pengelolaan limbah B3,” ujarnya.
Bisnis Tato Bertahan di Tengah Pandemi
View this post on Instagram
Seperti kebanyakan bisnis lainnya, tato pun terdampak pandemi. Menurut Arie, seniman tato di Pulau Dewata yang mengandalkan turis asing berguguran ditelan pandemi. Meski begitu, ia berhasil bertahan hingga sekarang.
“Semua kena (dampak pandemi). Teman-teman saya banyak yang tutup atau ganti pekerjaan. Tapi saya menolak untuk menyerah. Jadi pas flight dari luar (negeri) ditutup, saya bolak-balik ke Jakarta,” kenang Arie.
Untungnya, pemikiran masyarakat di ibu kota lebih terbuka, sehingga ia pun masih bisa menemukan pelanggan. Bahkan, menjadi pelanggan tetap hingga sekarang, termasuk artis FTV Ryan Delon.
Selain bermodal tekad dan pantang menyerah untuk menekuni bisnis tato, satu hal yang bisa membuatnya bertahan di tengah pandemi adalah ciri khas dari tato yang ia buat. Pasalnya, Arie hanya menerima permintaan tato dengan konsep fine line tattoo.
“Diferensiasi itu diperlukan. Itu akan jadi pembeda dengan (seniman tato) yang lainnya, sehingga kita bakal punya pasarnya tersendiri. Itu yang membuat saya tetap bertahan di profesi ini,” tegasnya.
Regenerasi Bisnis Tato dengan Cetak Senimannya
Di sisi lain, Arie menyadari bahwa setinggi apapun kemampuan seseorang, ia tidak akan bisa menang melawan waktu. Oleh karena itu, ia juga mulai memberikan pelatihan kepada wajah-wajah baru yang memiliki passion di bidang tato untuk bisa mencetak bisnis tato.
“Itu seperti legacy. Jadi nanti saya juga akan sampai pada batasnya. Saya ingin melestarikan seni tato ini agar tetap ada peminatnya di masa depan. Sejak awal tahun, saya menerima program magang,” kata Arie.
Meskipun memakai istilah magang, namun sebenarnya yang Arie lakukan sebuah proses transfer ilmu dan pengetahuan seputar tato. Ia juga tidak mengharuskan peserta magang untuk mengikuti gaya bertatonya.
“Saya membebaskan mereka untuk menemukan passion mereka sendiri. Karena kalau sudah passion, mereka akan mencintai tato. Hal positif yang saya lihat, minat anak muda sekarang terhadap tato cukup besar. Itu (peserta magang) kebanyakan datang sendiri atas kemauan masing-masing,” tutup Arie. (Tivan)