JAKARTA, MEDIAINI.COM – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi menetapkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite (RON 90) yang dijual PT Pertamina (Persero) sebagai Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP).
Ketetapan ini sendiri telah termaktub dalam Keputusan Menteri ESDM No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang JBKP dan telah diteken oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 10 Maret 2022 lalu.
Untuk memperjelas keibajak tersebut, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji membahasnya bersama Komisi VII DPR RI dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Selasa (29/3/2022).
“Untuk Pertalite, dapat kami sampaikan bensin RON 90 telah ditetapkan sebagai JBKP berdasarkan Kepmen ESDM No 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tanggal 10 Maret 2022 tentang JBKP,” ungkap Ariadji.
Dia menamnahkan, dengan ditetapkannya Pertalite sebagai JBKP, maka pemerintah telah menetapkan kuota bensin Pertalite untuk tahun 2022 sebesar 23,05 juta kilo liter (kl). Sedangkan untuk realisasinya, penyaluran Pertalite hingga Februari 2022 telah mencapai 4,258 juta kl atau melebihi 18,5% dari kuota yang seharusnya.
“Estimasi overkuota 15% atau 26,5 juta kl dari kuota yang ditetapkan 23,05 juta kl,” imbuhnya.
Karena Pertalite telah resmi masuk ke dalam kategori bensin JBKP, maka posisi Pertalite seharusnya diperlakukan sama seperti halnya bensin Premium (RON 88) yang mendapatkan kompensasi penuh dari pemerintah.
“Jika diestimasikan melalui normal skenario, maka di akhir 2022 akan terjadi over kuota sebesar 15 persen dari kuota normal menjadi 26,5 juta KL,” jelasnya.
Adapun dengan keputusan Pertalite menjadi JBKP, maka harga jual eceran JBKP untuk jenis bensin RON 90 di titik serah ditetapkan sebesar Rp 7.650 per liter, atau tidak mengalami perubahan. Setidaknya, itulah harga Pertalite saat ini yang belum berubah karena belum ditetapkan kebijakan lainnya. Angka itu sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB).
Namun untuk ke depannya, belum jelas apakah artinya Pertalite saat ini akan diberikan kompensasi penuh oleh pemerintah seperti halnya bensin Premium, atau hanya diberikan kompensasi sebesar 50% tergantung dari kandungan Premium di campuran Pertalite ini.
Pasalnya, pada Perpres No.117/2021, pemerintah hanya memberikan kompensasi sebesar 50% untuk kandung Premium di Pertalite. Saat itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengatur pendistribusian dan juga harga jual eceran BBM melalui Peraturan Presiden RI No.117 tahun 2021, tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014.
Pertamina Tekor, Subsidi Solar Lebih Besar Dari Harga Jual
Di sisi lain, harga komoditas minyak terus mengalami kenaikan yang tinggi. Perang antara Rusia dan Ukraina menjadi salah satu penyebabnya. Dampaknya, pemerintah dipaksa merogoh kocek lebih besar untuk memberikan subsidi pada jenis bensin lainnya, yakni solar.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, saat ini harga minyak menyentuh USD 119/barel, atau nyaris dua kali lipat di atas asumsi pemerintah dalam APBN 2022 yang berada di kisaran USD 65/barel.
“Sekarang untuk solar subsidi, nilai subsidinya lebih mahal dari harga jualnya,” kata Nicke, juga dalam rapat dengan Komisi VII DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Saat ini, lanjut Nicke, harga solar subsidi saat ini adalah Rp 5.150/liter, sementara solar non subsidi (Dexlite) harganya Rp 12.950/liter. Artinya, ada subsidi Rp 7.800 dalam setiap liter solar subsidi yang dijual.
Sementara dalam APBN 2022, pemerintah hanya menetapkan subsidi solar Rp 500/liter. Alhasil, Pertamina tekor karena harus menombok jumlah subsidi yang lebih besar ketimbang harga jual solar itu sendiri.
“Mekanisme hari ini untuk Solar, itu ada subsidi tetap 500 rupiah per liter. Padahal selisihnya dengan harga pasar Rp 7.800 per liter. Sisa Rp 7.300 per liter dalam bentuk kompensasi yang kemudian dari sisi penetapan angkanya nanti penggantiannya berbeda, ini butuh waktu, sehingga ini yang menggerus cash flow Pertamina. Mungkin mekanisme ini perlu di-review ulang agar tidak memberatkan,” keluh Nicke.
Dia menambahkan, disparitas atau perbedaan harga yang besar antara solar subsidi dengan solar non subsidi, berimbas pada adanya potensi penyelewengan solar subsidi ke sektor industri. Kondisi inilah yang menyebabkan kelangkaan solar subsidi terjadi di sejumlah daerah yang ada di Indonesia. (Tivan)