YOGYAKARTA, MEDIAINI.COM – Laksanakan Peringatan Haul Pangeran Diponegoro ke-167, Museum Monumen Pangeran Diponegoro Yogyakarta berkolaborasi dengan Museum Diponegoro Magelang, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Benteng Rotterdam dengan napak tilas secara daring melalui Instagram.
Acara napak tilas ini menghadirkan narasumber, Nyi Cilik Tripamungkas, Duta Museum Monumen Pangeran Diponegoro, Ki Ramdani, Duta Museum Yogyakarta 2022, Sunaryo, Staff Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Lulu Azizah, Pemandu Museum Sejarah Jakarta, dan Kamarrudin, Pemandu Benteng Rotterdam.
Napak Tilas dimulai dari Museum Monumen Pangeran Diponegoro, yaitu kediaman Pangeran Diponegoro dan nenek buyutnya, Ratu Ageng yaitu permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono I. Pada tempat ini, terjadilah pembentukan karakter Pangeran Diponegoro dengan Ratu Ageng yang menjadi sosok penting di baliknya. Tak heran jika beliau menjadu sosok perempuan Tangguh yang merupakan putri dari Kiai Ageng Derpoyudhi dari Majangjati Sragen. Adapun Komando Korp Prajurit Estri yang terdiri dari para pendekar perempuan dan berperan penting dalam perang gerilya Giyanti, dan Teram yang menawarkan hasil pertanian kepada masyarakat Tegalrejo sampai ke pesisir Laut Jawa. Ia terampil dalam hal perdagangan dan juga sangat kuat dalam menjaga adat istiadat budaya Jawa.
Dalam acara siaran langsung ini, Savidiawati, edukator museum turut menunjukan koleksi museum, diantaranya yaitu senjata asli Laskar Diponegoro seperti Tombak, bandil, atau martil baja, patrem, candrasa yang merupakan sejata laskar wanita. Adapula sebuah keris buatan seorang empu pada masa kerajaan Majapahit serta pedang yang berasal dari Kerajaan Demak dan koleksi lain berupa batu komboran. Batu ini digunakan untuk tempat minum kuda dan tembok jebol, konon lubang tersebut dijebol oleh Pangeran Diponegoro dengan tangan kosong guna menghindari kepungan tentara Belanda.
Beralih pada Museum Diponegoro Magelang, museum ini mengingatkan pada peristiwa perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1830-an. Saat itu Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda yang dipimpin oleh Jenderal De Kock dalam sebuah ‘Perundingan’ jebakan di kediaman rumah dinas Residen Kedu. Atas perundingan jebakan ini, Pangeran Diponegoro marah dan mencekram tempat pegangan tangan pada kursi anyaman rotan yang didudukinya hingga meninggalkan bekas. Di museum ini, dapat dilihat pula jubah asli, kitab Ta’rib, dan cangkir poci milik Pangeran.
Dari Museum Sejarah Jakarta, educator Museum memperlihatkan kamar Pangeran Diponegoro. Kamar ini sebetulnya merupakan kamar kepala penjara (cipierswoning) di Stadhuis yang harus dikosongkan untuk Pangeran Diponegoro yang merupakan bangsawan atau tahanan politik berstatus tinggi. Pada museum ini, dapat ditemui dipan katyu berkelambu dengan beralaskan daun pandan, kursi meja dengan dubang beserta tempat meludah sirih di atasnya, kendang burung, dan payung khas kerajaan. Pangeran menghabiskan waktu hampir sebulan untuk menunggu keputusan siding Dewan Pengadilan Belanda sebelum akhirnya diasingkan ke Manado.
Tempat terakhir, yakni Benteng Rotterdam menjadi saksi bisu saat Pangeran diasingkan oleh penjajah hingga akhir hayatnya. Sebelum ditawan, Pangeran Diponegoro terlebih dulu diasingkan di Manado. Di museum ini dapat dijumpai penjara tempat Pangeran, keluarga, dan pembantunya.
Nyi Cilik Tripamungkas, penggagas acara menuturkan, “Acara ini digelar dalam rangka memperingati Haul Pangeran Diponegoro ke-167, meneladani kehidupan sang pangeran, juga sarana edukasi dan promosi museum-museum bersejarah yang menjadi saksi bisu perjuangan Pangeran Diponegoro.” (IS/AD)