JAKARTA, MEDIAINI.COM – Presiden Jokowi resmi mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 mengenai pelegalan masyarakat untuk memproduksi minuman keras atau miras berbahan alkohol dalam rangka Bidang Usaha Penanam Modal.
Peraturan soal melegalkan miras diteken oleh Jokowi pada 2 Februari 2021 yang merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, dalam praktek pelaksanaan terkait pembukaan investasi baru industri minuman keras berbahan alkohol, rupanya mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Hal tersebut menjadi alasan Jokowi memcabut peraturan soal miras.
Pro Kontra Pencabutan Perpres Investasi Miras
Pencabutan soal PP pelegalan miras ini diumumkan sendiri oleh Jokowi dalam pernyataan singkat pada Selasa (2/3) siang. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjelaskan, keputusan mencabut Perpres karena adanya masukan dari ulama dan ormas islam. “Saya putuskan lampiran Perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut,” tegas Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta yang disiarkan dalam akun resmi Sekretariat Presiden di YouTube.
Pro dan kontra terkait melegalkan miras terus bermunculan. Beberapa kalangan yang menolak menilai Perpres tersebut tidak mempertimbangkan dampak buruk sosial yang ditimbulkan dari minuman keras.
Sedangkan pihak yang mendukung menyebut investasi minuman alkohol bakal membuka peluang penyerapan tenaga kerja, menambah pemasukan negara, dan mengendalikan peredarannya yang saat ini sembunyi-sembunyi.
Cabut Perpres Investasi Miras, Pandangan Ekonom
Keputusan Jokowi mencabut Perpres soal investasi miras mendapat apresiasi dari sejumlah ekonom. Pembatalan itu dianggap lebih baik sebelum aturan ini menimbulkan blunder bagi pemerintah di kemudian hari.
Salah satunya Ekonom Indef Tauhid Ahmad. Ia menyebut, blunder dalam artian akan muncul dalam banyak hal. Mulai dari tingginya tingkat kekerasan, kriminalitas, hingga masalah kesehatan di masyarakat yang pada akhirnya akan membebani pemerintah juga.
Sementara manfaat yang didapat tidak besar. Salah satunya dalam bentuk penerimaan negara, seperti bea masuk bahan baku, pajak penjualan, hingga cukai.
Sebab, fakta di lapangan mencatat sumbangan pemasukan dari miras terbilang kecil. Pada 2020 misalnya, sumbangan penerimaan minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp5,76 triliun. Angkanya turun 21 persen dari realisasi pada 2019 senilai Rp7,34 triliun.
Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal juva ikut berkomentar. Dari hitung-hitungan ekonomi pun investasi miras tetap tidak sebanding dengan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan. Begitu juga dengan ongkos yang harus disiapkan pemerintah nantinya.
Meski demikian, Faisal menilai ‘kelabilan’ pemerintah soal perpres investasi miras tidak akan memperburuk iklim investasi. Sebab, dibatalkan sebelum diimplementasikan.(Ken)
Sumber Gambar : ilustrasi Pixabay
Discussion about this post