karyawan tetap.
Maxim mengemukakan bahwa kebijakan mengenai status kerja untuk mitra pengemudi transportasi online harus dikaji dan dipertimbangkan secara komprehensif dengan turut memperhatikan konsekuensi yang terjadi untuk
pengemudi maupun untuk perekonomian Indonesia.
“Skema klasifikasi UMKM ini menawarkan alternatif yang inklusif, strategis, dan selaras dengan semangat transformasi digital, namun harus dikelola dengan posisi yang jelas dan koordinasi antar seluruh pemangku
kepentingan. Pendekatan kebijakan yang seimbang, dengan melibatkan masukan dari berbagai stakeholder, sangat penting untuk menjamin kesejahteraan tanpa mengorbankan inovasi, akses hingga ekosistem
transportasi online,” ucap Rafi Assagaf selaku Government Relation Maxim Indonesia.
Maxim menambahkan bahwa perusahaan akan menghargai dan mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan ekosistem transportasi online yang efektif serta upaya untuk memperkuat posisi para mitra pengemudi di dalamnya, salah satunya dengan wacana klasifikasi pengemudi sebagai UMKM. Dalam
hal ini, Maxim menilai bahwa dengan model kemitraan yang dimasukkan ke dalam kategori UMKM dapat menjadi solusi yang cocok untuk mendukung kesejahteraan dan perlindungan pengemudi transportasi online.
“Model Kemitraan dengan klasifikasi UMKM untuk saat ini lebih selaras terhadap struktur ekonomi digital Indonesia di mana konsep ini memungkinkan fleksibilitas, akses pendapatan, dan kemandirian tetap
terjaga sekaligus membuka ruang bagi perlindungan sosial dan dukungan pembinaan yang lebih terstruktur, termasuk kemungkinan integrasi ke dalam skema UMKM secara fungsional. Selain itu, pengemudi bisa
mendapatkan beberapa kemudahan dari pemerintah sehingga beban untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi tidak hanya dilimpahkan seluruhnya kepada aplikator,” sambung Rafi.
Sementara itu, terkait dengan rancangan untuk memasukkan pengemudi transportasi online sebagai pekerja tetap, Maxim menilai bahwa rencana tersebut bukan merupakan gagasan yang tepat dan bertentangan dengan
sifat hubungan kerja antara perusahaan dan pengemudi. Secara khusus, status karyawan menyiratkan jam kerja minimal 40 jam seminggu, jadwal kerja yang jelas, dan pemenuhan pesanan hanya dari satu aplikator.
“Status karyawan justru akan memberatkan pengemudi yang tidak dapat memenuhi syarat sebagai pekerja tetap yang juga akan menghilangkan fleksibilitas dan kenyamanan sistem kerja bagi pengemudi. Perubahan
status mitra pengemudi menjadi karyawan berpotensi mengurangi daya serap kerja yang selama ini mampu menampung jutaan pencari nafkah di sektor ini dan juga dapat menambah beban operasional bagi perusahaan. Pada akhirnya, hal ini membuat banyak orang akan kehilangan mata pencaharian mereka yang juga akan berdampak pada menurunnya perekonomian secara keseluruhan,” pungkas Rafi.
Pada kesempatannya, Rafi menegaskan bahwa kebijakan yang berhubungan dengan sektor transportasi online ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak faktor. Hal tersebut dikarenakan ride-hailing merupakan industri yang telah mendorong pertumbuhan perekonomian digital di Indonesia secara signifikan. Selain untuk mendukung mobilitas masyarakat, sektor ini juga telah memberikan kesempatan untuk jutaan masyarakat agar dapat memperoleh penghasilan baik sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan pendukung.
“Kami tentunya sangat mendukung proses dialog yang inklusif antara pemerintah, aplikator, perwakilan mitra pengemudi dan konsumen agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan realitas di lapangan.
Selain berpihak pada kesejahteraan pengemudi dan kenyamanan konsumen, perencanaan setiap kebijakan juga harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem serta ruang inovasi sektor ini ke depan,” tutup Rafi.