JAKARTA, MEDIAINI.COM – Ekonomi digital di Indonesia mencatat peningkatan signifikan, terutama sejak pandemi Covid-19. Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menghadiri IFG International Conference 2022 di Jakarta, Senin (30/5/2022) kemarin.
Bendahara Negara menyampaikan, ekonomi digital Indonesia tumbuh 49 persen dari 47 miliar dolar AS pada tahun 2020 menjadi 70 miliar dolar AS pada tahun 2021.
Bahkan, Sri Mulyani optimis angka ini akan terus meningkat dan diproyeksikan mencapai 146 miliar dolar AS pada tahun 2025 mendatang. Dengan demikian, nilainya akan menjadi yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
“Ini tentu merupakan nilai atau volume tertinggi dengan negara-negara ASEAN lainnya,” kata Sri Mulyani dalam keterangan tertulisnya yang dikutip pada Selasa (31/5/2022).
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi digital dipengaruhi oleh transformasi digital yang berkembang pesat sehingga akan berdampak luas bagi perekonomian, pemerintah, serta masyarakat luas. Bahkan, pertumbuhannya diproyeksi pesat dan eksponensial.
Sri Mulyani meyakini bahwa hal ini tidak terlepas dari penetrasi ekonomi digital selama pandemi. Menurut kajian McKinsey, akselerasi digital selama pandemi setara dengan tiga tahun adopsi teknologi.
“Sektor keuangan Indonesia menghadapi tren yang berpotensi menciptakan disrupsi dan inovasi masa depan melalui ekonomi digital dan keuangan berkelanjutan,” lanjutnya.
Dia menjelaskan, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital RI karena dukungan populasi anak muda yang telah terbiasa dengan teknologi (tech savvy) serta penetrasi internet yang relatif tinggi. Hal ini akan berdampak positif pada sektor keuangan. Secara berkelanjutan, ekonomi baru ini akan membuka peluang bagi sektor jasa keuangan.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini meyakini, rambatannya akan positif pada sektor keuangan. Secara berkelanjutan, ekonomi baru ini akan membuka peluang bagi sektor jasa keuangan.
“Jika melihat pesatnya implementasi teknologi digital di Indonesia, industri jasa keuangan terbuka peluang yang sangat besar, disertai urgensi untuk memperkuat pengawasan dan perlindungan konsumen,” jelas Sri Mulyani.
Tetap Waspada
Meski diproyeksi akan menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar se-ASEAN, Sri Mulyani tetap mewaspadai beberapa tantangan dan risiko yang mungkin terjadi.
“Indonesia dengan kemampuan untuk menjaga dan mencegah penularan pandemi Covid-19, maka momentum kegiatan ekonomi masyarakat juga semakin menguat. Dan ini terlihat dari statistik yang dipublikasikan oleh BPS dimana pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2022 mencapai 5,01 persen,” ujar Menkeu.
Pada saat yang sama, kondisi keseimbangan eksternal terlihat dari neraca pembayaran Indonesia juga mengalami perkembangan yang sangat positif. Kinerja neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus hingga bulan April 2022, dimana selama 24 bulan berturut-turut neraca perdagangan Indonesia terus mengalami surplus.
“Tentu ini merupakan salah satu hal yang akan menjaga ekonomi Indonesia karena kinerja ekspor kita dengan adanya tren kenaikan harga maupun pemulihan ekonomi global akibat pandemi dan juga menggeliatnya kegiatan ekonomi di Indonesia, memberikan kontribusi yang sangat positif dari neraca eksternal kita. Namun, kita juga tidak boleh berpuas diri karena meskipun pemulihan ekonomi di Indonesia berjalan, kita melihat dari sisi global muncul risiko baru yang harus kita waspadai, terutama dalam bentuk kenaikan harga-harga komoditas yang meningkat sangat cepat dan ekstrem,” terang Menkeu.
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengungkapkan adanya kenaikan harga komoditas menguntungkan bagi Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor komoditas. Namun di sisi lain, kenaikan harga yang sangat ekstrem mendorong inflasi di level global, terutama di negara-negara maju. Inflasi global tersebut kemudian diikuti oleh pengetatan kebijakan moneter, terutama di Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris.
“Pengetatan kebijakan moneter artinya interest rate atau suku bunga akan naik dan likuiditas juga akan menjadi lebih ketat. Hal ini perlu untuk diwaspadai dalam implikasinya terhadap momentum pemulihan ekonomi global,” kata Menkeu.
Di sisi lain, kebijakan lockdown atau pembatasan kegiatan seiring kenaikan kasus Covid-19 di RRT (China) sangat berdampak pada ekonomi RRT. Hal ini tentu juga akan berdampak pada perekonomian dunia karena jumlah serta size perekonomian RRT yang sangat besar di dalam perekonomian global.
“Risiko-risiko tersebut harus kita antisipasi, termasuk risiko yang berlangsung yaitu konflik Rusia dan Ukraina menyebabkan disrupsi sisi suplai dan sanksi ekonomi yang menyebabkan harga komoditas terutama energi dan pangan yang melonjak sangat ekstrem,” tutup Menkeu. (Tivan)