JAKARTA, MEDIAINI.COM – Rencana pemerintah untuk menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen pada 1 April 2022 mendatang mulai diprotes sejumlah kalangan.
Pengusaha mal yang tergabung dalam Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) misalnya, mereka meminta pemerintah untuk menunda tarif PPN terbaru itu.
Dari kacamata pebisnis, kebijakan baru ini akan berimbas pada kenaikan harga jual produk di tingkat konsumen. Hal ini juga diperparah dengan ketegangan antara Rusia dan Ukraina yang juga bisa memicu ketidakseimbangan dalam sektor perdagangan.
“Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen sebaiknya ditunda karena akan semakin mendorong kenaikan harga produk dan barang sehingga berpotensi semakin sulit dijangkau oleh masyarakat terutama kelas menengah bawah,” tulis APPBI dalam keterangan resminya yang dikutip pada Jumat (11/3/2022).
Efek domino pun kemungkinan akan terjadi seandainya kenaikan PPN 11 persen jadi dijalankan. Pasalnya, rantai pasok ataupun rantai distribusi produk terganggu lantaran mengalami kenaikan biaya energi.
Dalam skala yang lebih besar, lanjut APPBI, kebijakan baru ini diproyeksi bakal mengakibatkan bertambahnya biaya produksi yang dapat mengakibatkan kenaikan harga produk dan barang. APPBI juga menilai kondisi daya beli masyarakat masih belum pulih akibat pandemi yang telah memasuki tahun ketiga.
“Potensi kenaikan harga produk dan barang semakin terancam dengan rencana kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% yang akan berlaku efektif mulai 01 April 2022 yang akan datang,” imbuhnya.
Kenaikan PPN 11 Persen Dianggap Mencekik Pengusaha Lokal
Selain pengusaha mal, protes juga datang dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) yang menilai pemerintah kurang tepat dalam memilih momentum implementasi kenaikan PPN tersebut. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPP HIPPI DKI Jakarta Sarman Simanjorang.
“Saat ini pengusaha sedang sibuk membuat kalkulasi perhitungan jika kenaikan PPN tersebut tetap diberlakukan. Kami butuh kepastian segera apakah melalui peraturan pemerintah atau sejenisnya sehingga dunia usaha dapat menyesuaikan sesuai kebijakan pemerintah,” tutur Sarman melalui keterangan tertulisnya.
Sarman, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang menyampaikan, kalangan pengusaha lokal berharap pemerintah dapat menunda pemberlakuan kenaikan PPN sebesar 11 persen.
Sarman mengatakan, setidaknya ada 5 alasan penundaan kenaikan PPN ini. Pertama, kondisi ekonomi nasional yang baru mulai bangkit dan belum stabil.
“Karena kita masih dalam situasi pandemi, pengusaha lokal baru mulai bangkit, ekonomi masyarakat juga baru mulai tumbuh sehingga daya beli masyarakat masih fluktuatif belum stabil,” jelasnya.
Kedua, kondisi ekonomi global karena dampak pandemi Covid-19 yang belum pulih dan dampak perang Rusia vs Ukraina yang memicu kenaikan harga minyak dunia yang saat sudah menyentuh USD 130,50 per barel yang akan berdampak pada kenaikan berbagai komoditas dunia dan harga BBM dalam Negeri.
“Pokok pangan dengan bahan baku gandum juga berpotensi akan mengalami kenaikan karena terhentinya impor gandum dari Ukraina,” lanjut Sarman.
Ketiga, saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan gejolak kenaikan harga pokok pangan yang dimulai dari minyak goreng, kedelai, daging dan tidak tertutup kemungkinan kenaikan harga pokok pangan lainnya akan naik jika demand dan supply tidak seimbang.
Apalagi dalam waktu dekat akan ada momen puasa dan lebaran. Pemerintah harus segera mengantisipasi mengingat kebutuhan masyarakat menjelang bulan puasa dan Idul Fitri akan naik signifikan.
“Memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri, kenaikan harga harga pokok pangan adalah sesuatu yang tidak bisa hindari. Sejauh kenaikan tersebut masih dalam kewajaran tentu tidak akan mengganggu daya beli masyarakat yang masih belum stabil,” papar Sarman.
Ringkasnya, tanpa kenaikan PPN pun harga pokok pangan dan lainnya akan naik, apalagi jika PPN naik lagi, tentu akan semakin memberatkan masyarakat.
Kelima, Sarman juga mengingatkan melalui UU No.7 tahun 2021. Pemerintah dapat menunda kenaikan PPN, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
“Artinya, kebijakan ini dapat menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang ada,” pungkasnya. (Tivan)