JAKARTA, MEDIAINI.COM – Kabar minyak goreng langka berimbas pada naiknya harga minyak goreng. Kendati pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini, termasuk dengan penyeragaman harga eceran tertinggi (HET), namun pada kenyataannya masyarakat masih kesulitan mendapatkan bahan pokok tersebut.
Mahalnya harga dan minyak goreng langka ini pun menjadi perhatian di kalangan internet. Sebagian dari warganet bahkan menggemakan petisi untuk mengusut dugaan kartel melalui laman change.org dengan judul “Langka dan Harganya Mahal, Usut Tuntas Dugaan Kartel Minyak Goreng!”.
Menanggapi masalah ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendukung Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengusut dugaan kartel minyak goreng.
Bahkan dalam kolom pengantar di petisi tersebut, YLKI menyoroti kondisi miyak goreng langka dan mahalnya minyak goreng sawit di dalam negeri, padahal Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit (CPO/crude palm oil) terbesar di dunia.
“Jawabannya, bisa jadi ada sebuah praktik usaha tidak sehat yang menyebabkan harga minyak goreng jadi tinggi sekali. Struktur pasar minyak goreng terdistorsi oleh para pedagang besar CPO dan minyak goreng,” demikian salah satu kutipan dalam petisi tersebut.
Minyak Goreng Langka, Petisi Usut Permainan Kartel
Lebih lanjut, YLKI menjelaskan bahwa menurut pemaparan KPPU, hanya ada 4 perusahaan yang menguasai perdagangan minyak goreng di Indonesia, sehingga tidak mustahil, 4 perusahaan ini melakukan praktik kartel dan bersekongkol untuk menentukan harga bersama, sehingga harga minyak goreng melonjak drastis, yang tentunya lebih menguntungkan perusahaan.
“Untuk itulah, lewat petisi ini kami meminta agar KPPU segera mengusut sampai tuntas (menginvestigasi) dugaan kartel minyak goreng ini, sebagaimana dimandatkatkan oleh UU Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat,” tulisnya.
Kemudian, seandainya benar ada kartel atau bentuk persaingan tidak sehat lainnya pada produk minyak sawit, YLKI meminta agar KPPU dan pemerintah untuk memberikan sanksi hukum yang tegas dengan menjeratnya dalam kasus perdata, pidana, dan administrasi. YLKI juga mendesak pemerintah untuk secepatnya menindak masalah ini agar kerugian masyarakat bisa diminimalisir.
“Jangan segan segan untuk mencabut izin ekspor mereka, supaya bisa memprioritaskan konsumsi domestik. Atau bahkan mencabut izin usahanya,” lanjutnya.
Kemendag Siapkan Kebijakan Baru Amankan Heboh Minyak Goreng Langka
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah menyiapkan aturan anyar untuk menekan gejolak harga dan menjamin pasokan minyak goreng domestik tetap stabil di tengah kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar dunia.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan, kebijakan anyar itu dirancang untuk melepaskan ketergantungan harga minyak goreng dari fluktuasi harga CPO internasional.
Oke menjelaskan, kebijakan tersebut masih dalam tahap peralihan yang bertumpu pada kebijakan terdahulu, seperti Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) bagi para eksportir.
Menurutnya, manuver itu diambil setelah Kemendag mengidentifikasi kenaikan harga minyak goreng yang tidak terkendali turut disebabkan oleh kebijakan perdagangan pemerintah.
Artinya, kepentingan pemerintah berkaitan dengan penerapan Program Mandatori B30 hingga pungutan ekspor turut mengerek naik harga internasional komoditas tersebut selama pandemi Covid-19.
“Saya akui kebablasan dari pemerintah ini membiarkan minyak goreng bergantung kepada harga CPO internasional, itu saja temuan kami pemerintah. Saat ini, pemerintah tidak punya waktu karena keputusannya harus diambil segera,” papar Oke.
Terkait implementasi kebijakan DMO dan DPO, Oke menambahkan bahwa alokasi minyak goreng untuk ritel modern sudah terpasang sebanyak 4,6 juta liter hingga awal bulan ini.
Data itu menunjukkan eksportir CPO sudah melaksanakan kewajiban pemenuhan pasokan domestik untuk pasokan bahan baku minyak goreng tersebut.
“Sekarang para eksportir ini sudah memenuhi kewajiban DMO dan DPO-nya karena mereka ekspornya masih dikunci, kalau sampai 20 persen baru dibuka pintu ekspornya, dan sampai sekarang belum ada,” pungkasnya.
Sumber Gambar : ilustrasi Pixabay