JAKARTA, MEDIAINI.COM – Polemik bisnis PCR yang ditekuni oleh beberapa pejabat jadi perhatian publik. Inisiator sekaligus Ketua Umum PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), Arsjad Rasjid, akhirnya angkat suara mengenai isu bisnis PCR yang menyeret nama sejumlah menteri kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.
Sebagaimana telah diketahui, dugaan bisnis PCR ini mencatut beberapa nama di pemerintahan, mulai dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, hingga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir.
Terkait rumor tersebut, Arsjad dengan tegas menyatakan bahwa Menteri Luhut sama sekali tidak terlibat dengan bisnis PCR, seperti yang diisukan oleh banyak pihak.
“Terus terang Pak Luhut itu tidak ikut-ikutan sama sekali. Saya bukan membela Pak Luhut atau mengalihkannya ke Pak Erick, karena konteksnya hanya berbicara tentang ini saja (bisnis PCR). Saya mau bicara apa adanya saja, profesional dari apa yang saya ketahui,” papar Arsjad dalam sebuah acara televisi.
Dalam penilaian Arsjad, masyarakat semestinya tidak perlu mencari tahu, apalagi sampai meributkan perkara penjabat yang ingin menginvestasikan dana pribadinya. Menurutnya, itu hak privasi setiap orang memiliki kebebasan untuk berbisnis. Justru, lanjut Arsjad, masyarakat seharusnya lebih detail dalam mencari jejak asal muasal dana yang dimiliki pejabat tersebut.
“Saya merasa, kalau asalkan itu uang dapatnya yang yang bener, orang mau menaruh di perusahaan mau investasi, memangnya salah? Yang harusnya di-track itu kan harusnya dana itu awalnya dari mana, itu saja.Dan kalau orang sudah jadi pejabat, apa orang tidak boleh investasi? Orang nggak boleh hidup lagi?” imbuh Arsjad.
Alasan Pembuatan PT. GSI
Perkara mengenai alasan pembentukan PT. GSI sebagai perusahaan, Arsjad mengklaim bahwa saat ini, Indonesia belum memiliki perusahaan yang mengkhususkan diri untuk menghimpun para pelaku bisnis agar mau menyatukan visi dalam memberikan dampak positif bagi sosial, ekonomi, dan lingkungan, dalam skala besar.
Selama ini, para investor cenderung bergerak sendiri-sendiri. Oleh karena itu, GSI dibentuk berkat dukungan modal usaha rintisannya yang kuat, karena berasal dari para investor besar.
“Itu karena entitas yang namanya perusahaan sosial itu belum ada (di Indonesia). Kalau di luar negeri (misalnya) Amerika Serikat itu sudah ada namanya B Corp. Di Inggis dan Singapura (juga ada). Sementara di Indonesia belum ada, yang dimana itu mempunyai wujud kedua-duanya, yakni social and price,” tutup Arsjad.
Opini Pengamat Terkait Bisnis PCR
Secara terpisah, peneliti dari Centre For Indonesian Progres (CIP), Irfan Ahmad Fauzi, angkat bicara menanggapi isu bisnis PCR yang menyeret nama pejabat negara, termasuk Menteri BUMN, Erick Thohir.
Irfan menilai, tuduhan keterlibatan Erick dalam bisnis PCR sengaja dibuat untuk mengalihkan isu dan menganggu jalannya penanggulangan pandemi Covid-19 yang jumlah kasusnya terus melandai.
“Isu ini sengaja dimanfaatkan dan ditunggangi untuk menyerang pribadi Erick Thohir selaku menteri yang banyak terlibat dalam penanganan dampak pandemi Covid-19. Saat ini penanganan pandemi sudah berjalan di jalur yang benar, dibuktikan dengan rendahnya tingkat penularan Covid-19 di tanah air,” papar Irfan.
Menururt Irfan, tuduhan yang dilayangkan kepada Erick Thohir tidak memiliki alasan yang kuat, atau bahkan tidak terbukti. Pasalnya, PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang merupakan yayasan kemanusiaan itu tidak terbukti memonopoli tes PCR. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya porsi layanan PCR dari PT GSI.
“Perlu diingat bahwa dari total 28,4 juta tes PCR di Indonesia, GSI hanya melakukan tes sebanyak 2,5 persennya. Dan saham yang ada dalam perusahaan GSI juga atas nama yayasan kemanusiaan bukan atas nama pribadi maupun perusahaan Erick Thohir,” sambung Irfan.
Untuk itu, Irfan meminta agar semua pihak bisa menahan diri dan tidak terprovokasi oknum-oknum yang ingin mendapatkan keuntungan dari kegaduhan-kegaduhan yang sengaja diciptakan.
“Jangan sampai pejabat takut mengambil terobosan kebijakan hanya karena isu yang dimainkan oleh sekelompok pihak yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya terobosan-terobosan kebijakan untuk penanganan pandemi didukung bukan malah sengaja dibuat-buat untuk menjatuhkan,” pungkas Irfan.
Tarif Tes PCR Di Cek Berkala
Untuk memerangi bisnis PCR yang merugikan masyarakat, pemerintah secara berkala melakukan evaluasi tarif Swab RT-PCR. ”Kami secara berkala melakukan evaluasi terhadap tarif pemeriksaan, menyesuaikan kondisi yang ada. Proses evaluasi standar yang kami lakukan dalam penentuan harga suatu produk maupun layanan, untuk menjamin kepastian harga bagi masyarakat,” papar Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmidzi, dalam laman kemkes.go.id.
Hingga saat ini, evaluasi tarif pemeriksaan RT-PCR oleh Kementerian Kesehatan bersama BPKP sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama pada 5 Oktober 2020 ditetapkan pemeriksaan RT PCR Rp. 900 ribu. Kedua, pada 16 Agustus 2021 ditetapkan pemeriksaan RT PCR RP. 495 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali serta Rp. 525 ribu untuk diluar pulau Jawa dan Bali. Terakhir pada 27 Oktober ditetapkan Rp. 275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali dan Rp 300 ribu untuk diluar pulau Jawa dan Bali.
”Dalam menentukan harga RT- PCR, Kementerian Kesehatan (Dirjen Yankes) tidak berdiri sendiri, namun dilakukan bersama dengan BPKP. Proses evaluasi harga ini tentunya dilakukan untuk menutup masuknya kepentingan bisnis dan menjamin kepastian harga bagi masyarakat,” tegasnya.
Biaya pengambilan dan pemeriksaan RT-PCR, terdiri dari komponen komponen jasa pelayanan/SDM, komponen reagen dan bahan habis pakai (BHP), komponen biaya administrasi, overhead, dan komponen biaya lainnya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. ”Reagen komponen harga paling besar dalam pemeriksaan swab RT-PCR, mencapai 45-55%,” sahut dr. Nadia.
Tarif Tes PCR di Indonesia Termurah se-ASEAN
Dengan diberlakukannya tarif baru tes PCR di Indonesia, Direktur Utama (Dirut) PT Bio Farma (Persero), Honesti Basyir, mengklaim bahwa harga tes PCR di Indonesia lebih murah daripada negara-negara di kawasan ASEAN dan negara-negara di Uni Emirat Arab (UEA).
Di tanah air, harga tertinggi PCR mencapai Rp 275.000 untuk Jawa-Bali dan di luar Jawa-Bali sebesar Rp 300.000. Angka ini mengalami penurunan dari tarif sebelumnya yakni Rp 475.000.
“Kami melihat harga tes PCR di Indonesia merupakan harga tes PCR yang termurah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura, bahkan ada beberapa negara seperti Uni Emirat Arab, dimana harga tes PCR di negara tersebut jauh lebih mahal dari harga yang ditetapkan di Indonesia,” pungkas Honesti. (Tivan)