JAKARTA, MEDIAINI.COM – Badai sitokin tiba-tiba jadi topik hangat yang ramai dibicarakan.Hal ini terjadi karena pernyataan Deddy Corbuzier yang sempat dinyatakan kritis dan mengalami badai sitokin. Pria bernama lengkap Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo itu mengaku tertular karena mengurusi beberapa anggota keluarganya yang positif Covid-19. Meski diawali dengan kondisi tubuh yang sehat dan terkena Covid-19 tanpa gejala, Deddy akhirnya didiagnosis memiliki kondisi paru-paru yang rusak 60% hanya dalam dua hari.
Apa Itu Badai Sitokin?
Berdasarkan penelusuran Mediaini, badai sitokin merupakan salah satu komplikasi yang bisa dialami penderita Covid-19 yang umumnya menyerang jaringan paru-paru dan pembuluh darah. Sitokin merupakan salah satu protein yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh.
Dalam kondisi normal, sitokin membantu sistem imun berkoordinasi dengan baik dalam melawan bakteri atau virus penyebab infeksi. Namun, jika diproduksi secara berlebihan, sitokin justru menyebabkan kerusakan di dalam tubuh. Hal ini yang disebut sebagai badai sitokin.
Badai sitokin terjadi ketika tubuh melepas terlalu banyak sitokin ke dalam darah pada jangka waktu sangat cepat. Kondisi ini membuat sel imun justru menyerang jaringan dan sel tubuh yang sehat, sehingga menyebabkan peradangan.
Badai Sitokin dan Virus Covid-19
Dalam banyak kasus Covid-19, kerusakan paling parah nampaknya disebabkan oleh tanggapan kekebalan yang kacau terhadap infeksi daripada virus itu sendiri. Pada pasien Covid-19, darah mereka penuh dengan sistem kekebalan tingkat tinggi yang disebut sitokin.
Normalnya sitokin hanya bekerja dalam waktu singkat dan akan berhenti saat respon kekebalan tubuh tiba di daerah infeksi. Sitokin ini akan membawa pesan bahwa tubuh membutuhkan sistem imun untuk melawan virus.
Para ilmuwan percaya bahwa sitokin ini adalah bukti respons dari kekebalan yang disebut badai sitokin, di mana tubuh mulai menyerang sel dan jaringannya sendiri daripada hanya melawan virus, dan bekerja tak terkendali. Badai sitokin merangsang pertumbuhan sel imun hingga terus menyerang paru-paru, padahal virusnya sendiri sudah mati.
Akibatnya paru-paru meradang parah karena sistem imun berusaha keras membunuh virus ketika infeksi sudah selesai. Alhasil, jaringan paru-paru mengalami kerusakan. Kondisi pasien yang sudah membaik bisa tiba-tiba memburuk dalam waktu singkat.
Tidak Hanya pada Pengidap Corona
Serangan cytokin atau sitokin adalah komplikasi umum yang tidak hanya terjadi pada pengidap corona melainkan juga pada pengidap flu dan penyakit pernapasan lainnya. Selain itu, juga memiliki kaitan erat dengan penyakit noninfeksi seperti multiple sclerosis dan pankreatitis.
Fenomena ini menjadi lebih dikenal setelah wabah virus flu burung H5N1 pada tahun 2005. Ketika tingkat kematian yang tinggi dikaitkan dengan respons sitokin yang tidak terkendali. Lanjut, mengalami fase ini memberikan penjelasan jika ada beberapa orang memiliki reaksi parah terhadap virus corona sementara yang lain hanya mengalami gejala ringan.
Ini juga menjadi alasan mengapa orang yang usianya lebih muda kurang terpengaruh, karena sistem kekebalan tubuh mereka kurang berkembang sehingga menghasilkan tingkat sitokin penggerak peradangan yang lebih rendah.
Dalam kasus yang dialami Deddy Corbuzier, pola hidup sehat dan olah raga membuat pria yang semula dikenal sebagai pesulap itu memiliki permukaan paru-paru yang lebih luas dan kapasitas yang cukup baik. Dengan demikian, tubuhnya mampu menahan peradangan lebih buruk. Selain itu, Deddy juga dibekali konsumsi obat untuk menahan peradangan tidak meluas dan menjaga saturasi kadar oksigen dalam darahnya. (Arlina Laras)






















