SEMARANG, MEDIAINI.COM – Sejak bulan Maret hingga Juni, GREDU menggelar webinar bertajut #HebatdenganTerlibat yang bertujuan meningkatan keterlibatan khususnya pada orang tua dan orang dewasa dalam pendidikan serta perkembangan anak.
Oleh sebab itu, topik yang diambil akan selalu mengarah pada perihal kekeluargaan, parenting, dan dinamika kehidupan anak.
Beberapa judul dari webinar tersebut mengarah kepada, Tips jadi ayah idaman, merundung atau dirundung, anak adalah korban, dan dari toleransi, jadi kolaborasi.
Berbicara mengenai perundungan tidak lepas dari masalah diskriminasi, munculnya diskriminasi karena adaanya prasangka, yaitu suatu sikap negate terhadap kelompok atau anggota tertentu yang didasari sebuah alasan yang benar.
Prasangka yang dimaksud ada dua implikasi, pertama sikap seringkali merupakan fungsi dari skema yaitu kerangka kerja kognitif untuk mengorganisir, menginterpretasi dan memanggil kembali suatu informasi. Kedua, melibatkan emosi dan perasaan negatif.
Diskirminasi juga diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 1 ayat (3).
Dari isinya menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau pengguna hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Dilansir dari jurnal Syamsul Arifin, dkk (2020) Di Indonesia masih sering terjadi diskirminasi di lingkungan masyarakat.
Salah satunya kelompok minoritas di Indonesia sering mengalami diskriminasi. Beragam diskriminasi yang mengarah mulai dari kelompok minoritas agama, etnis dan suku, jenis kelamin, dan lain-lain.
Dikutip dari jurnal Retno Listyarti (2021) kasus-kasus diskriminasi dan intoleransi sering terjadi di ranah pendidikan, penyebabnya ketidakpahaman guru dan staf sekolah (terutama pegawai negeri) yang masih kesulitan untuk membedakan area keyakinan pribadi dengan nilai dasar yang dipegangnya sebagai pegawai pemerintahan.
Hal itu sering menyebabkan para guru dan kepala sekolah sering melakukan tindak diskriminasi terhadap siswa yang berbeda agama.
Contohnya siswa non muslim dipaksa untuk memakai jilbab.
Pada webinar kali ini GREDU mengundang tiga pembicara yang berkompeten di bidang tersebut. Dari ketiganya membahas mengenai isu diskriminasi dan intoleransi yang ada di Indonesia.
Iwan Ridwan, Dewan Pembina Ikatan Guru Indonesia (IGI) DKI Jakarta yang menjadi pembicara Webinar kali ini mendeskripsikan diskriminasi sebagai perlakuan yang berbeda dari seseorang kepada individu atau kelompok, yang mana muncul dari sebuah prasangka.
Tidak dipungkiri, diskriminasi sering terjadi di ranah pendidikian, khususnya sekolah.
Terdapat dua hal yang menyebabkan guru memiliki perilaku berbeda kepada setiap siswanya. Pertama, label yang melekan pada siswa, seperti pintar, nakal, baik, dan lain-lain.
Kalis Mardiasih, Penulis yang juga menjadi pembicara webinar, Kalis mengungkapkan bahwa setiap manusia pada dasarnya ingin hidup dengan rasa aman dan nyaman, hal tersebut hanya bisa didapatkan pada lingkungan terdekatnya, yang cenderung homogen.
Sehingga saat keluar dari lingkungan yang homogen, individu ini harus menangkap secara objektif.
Namun sikapnya yang berbeda akan menimbulkan munculnya aksi intoleran, yang biasanya memandang sesuatu dengan asumsi yang subjektif.
Pembicara terakhir, Irfan Amale, Direktur Peace Generation Indonesia mengungkapkan bahwa wa, Isu intoleransi dan diskriminasi tidak akan hilang, namun yang dapat dilakukan adalah membangun narasi positif, pahami, dan melakukan. (Wahyu Septiadi Hutomo/AD)
Discussion about this post