JAKARTA, MEDIAINI.COM – Kasus perundungan di sekolah merupakan salah satu permasalahan yang kompleks dan belum berakhir.
Berdasarkan data pengaduan KPAI, tahun 2020 terjadi lonjakan pengaduan mengenai keluarga dan pengasuhan alternatif, pendidikan, pornografi dan cybercrime, serta kasus perlindungan anak lainnya. Hal tersebut berbanding lurus dengan peningkatan anak putus sekolah di Indonesia.
Menurut Retno Listyarti, perundungan menjadi salah satu sebab peningkatan putus sekolah di Indonesia. Pandemi COVID-19 yang mengharuskan anak sekolah daring pun tidak memutuskan rantai perundungan, karena perundungan yang biasanya terjadi secara langsung turut berubah menjadi secara daring (cyberbullying).
Dilansir dari media sosail Twitter, salah satu dari siswa yang terkena perundungan malas menghadapi sekolah tatap muka.
“ Mau sekolah offline boleh kalo bullying dihapus,” tulis akun @Joltao. Hal itu juga dibenarkan oleh beberapa akun yang mengalami nasib serupa dengan berbagai macam respon dan tidak sedikit juga yang berbagi pengalaman terkait masalah perundungan.
GREDU, perusahaan teknologi pendidikan yang mendorong kolaborasi melalui solusi digital, percaya bahwa ketika anak-anak terlibat dalam perundungan, maka seluruhnya adalah korban.
Permasalahan perundungan dapat diatasi dengan penanganan dari akar permasalahan.
Oleh sebab itu GREDU menyelenggarakan webinar bertema #HebatdenganTerlibat dengan tajuk “Merundung atau Dirundung, Anak adalah Korban” pada hari Sabtu, 24 April 2021.
Webinar ini mengundang Agita Pasaribu selaku pendiri dari Bullyid App, Prameshwari Sugiri dari KumparanMOM, serta Goldi Senna Prabowo yang merupakan aktivis antibullying dan inisiator organisasi Sudah Dong Malang.
Sedikit Mengenal Perundungan dan Cyberbullying
Berbicara soal perundungan tentu memiliki makna yang luas, Menurut Goldi candaan yang dapat dikatakan perundungan adalah ketika terdapat salah satu pihak yang merasa tidak nyaman dan kejadiaan dan/atau perkataan candaan terjadi secara berulang kali.
Goldi menungkapkan bahwa ia pernah mengalamin perundungan sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), seringkali dari kata bercanda justru menjadi kedok dari perundungan.
Bahkan, seringkali orang dewasa yang mengetahui perundungan terjadi hanya dianggap sebagai hal yang wajar.
Menanggapi hal tersebut, Imesh, sapaan dekat dari Prameshwari Sugiri, mengatakan bahwa anak dan orang tua harus memiliki kesepakatan terlebih dahulu mengenai perundungan. Anak dan orang tua perlu menyatukan definisi dan menyepakatinya bersama.
Orang tua juga harus mau belajar bahwa bentuk-bentuk perundungan berubah seiring bertambahnya zaman, terlebih di era internet of things yang memungkinkan anak memperluas pergaulan melalui aplikasi online.
“Dimulai dari orang tua dan anak terlebih dahulu, selanjutnya dapat disebarkan kepada teman sesama orang tua dan lingkungannya” ujar Imesh.
Menyetujui hal ini itu, Agita mengatakan bahwa perundungan belum memiliki definisi konkret dalam undang-undang dan tenaga ahli.
Perundungan juga memiliki arti yang luas dengan beragam bentuk seperti perundungan yang dilakukan secara daring (cyberbullying).
Perundungan secara daring memiliki keterlibatan yang lebih sedikit, tapi dampak yang lebih besar dibandingkan dengan perundungan secara langsung.
Hal tersebut disebabkan oleh; pelaku tidak merasa bersalah karena tidak mengungkapkan identitasnya kepada korban, bisa terjadi kapan dan di mana saja, mudah untuk viral, dan meninggalkan jejak digital.
Terdapat pengklasifikasian cyberbranding sesuai dengan tingkatan mulai dari, flaming, harassment, denigration, impersonation revenge porn live streaming child sexual abuse, child grooming.
Dari sekian tingkatan yang paling banyak terdapat pada child grooming, biasanya terjadi lewat game online untuk anak-anak, sedangkan media sosial untuk remaja.
Sangat disayangkan, Indonesia masih kurang aman untuk berselancar di dunia maya. Perlu adanya kerjasama antara anak, sekolah, guru, dan juga orang tua.
Penerapan Budaya Antibullying di Lingkungan Rumah Dan Sekolah
Menurut Goldi, anak cenderung menjadi perundung disebabkan oleh lingkungan di rumah yang kurang kondusif, ingin menunjukan popularitas atau status sosial, tekanan dari lingkungan, pembalasan akan intimidasi sebelumnya, kurangnya rasa empati, dan kurang perhatian.
Dampaknya, anak yang mengalami perundungan cenderung mengalami depresi, perubahan pola hidup, serta kesehatan dan prestasi yang menurun disebabkan oleh kecemasan terkait perundungan tersebut.
Dampak yang terjadi tidak hanya terjadi pada korban saja, tapi juga kepada pelaku dan saksi perundungan. Bila tidak ada penanganan khusus atau menyeluruh yang dilakukan, perundung dapat memasuki dunia kriminalitas yang lebih besar, sedangkan untuk saksi perundungan dapat menyebabkan trauma.
Agita mengungkapkan bahwa perlunya mendidik anak untuk lebih kuat terhadap perundungan, mulai dari sejak dini.
Perilaku juga menjadi patokan ketika seorang anak mengalami perundungan. Justru dengan hal itu guru harus lebih peka jika salah satu dari muridnya mengalami kemunduran dalam minat belajarnya.
Peran orang tua juga tidak kalah pentingnya dalam membangun jiwa anak lebih tahan banting.
Perlunya penaman tentang bagaimana mereka begitu menyenangkan, dicintai, berharga, kuat, dan hebat tanpa merendahkan yang lainnya.
Budaya di rumah sama pentingnya. Menerapkan budaya yang baik seperti; tidak pernah menjatuhkan pencapaian anak, menumbuhkan rasa kepedulian, menumbuhkan support tanpa menjatuhkan, dan lainnya merupakan hal tepat yang dilakukan oleh orang tua untuk membantu anak menghilangkan bibit perundungan sejak kecil.
“Tidak hanya support yang diberikan, tapi kita harus tumbuh bersama anak” ujar Imesh.
Namun, budaya di rumah tidak cukup kuat untuk mencegah terjadinya perundungan.
Sekolah yang diibaratkan sebagai rumah kedua bagi anak, juga memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan karakter anak.
Menurut Imesh, penanganan perundungan di sekolah kurang tepat bila hanya menangani permasalahan yang telah terjadi. Sebaiknya, sekolah harus melakukan pencegahan sebelum perundungan terjadi.
Cara yang dapat dilakukan oleh sekolah adalah dengan membudayakan kebiasaan baik di sekolah.
Hal tersebut, tidak hanya untuk antarmurid, tapi untuk semua yang terlibat di lingkungan sekolah. Agita setuju dengan pernyataan Imesh.
Menurutnya, sekolah harus memperlihatkan bahwa mereka memiliki konsentrasi yang tinggi dalam rangka mengatasi perundungan.
Sehingga, selain peraturan yang dibuat jelas, anak tahu harus berbuat apa atau lapor ke mana ketika pengalami atau menyaksikan perundungan. (Wahyu Septiadi Hutomo/AD)
Discussion about this post