JAKARTA, MEDIAINI.COM – Setiap orang tua tentunya ingin memiliki anak yang sehat dan berprestasi. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, orang tua membutuhkan upaya yang tidak main-main.
Selain melatih kemampuan kognitif, konsumsi gizi merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang prestasi anak.
Memasuki usia sekolah, kegiatan anak pun akan bertambah. Selain itu, anak telah memiliki preferensi makanan yang beragam.
Anak mulai dapat menentukan makanan yang ingin dia konsumsi. Peran orang tua untuk memperhatikan asupan gizi anak sangat dibutuhkan, terutama ketika lingkungan sekolah tidak dapat mendukung perhatian tersebut.
Sebab, pada usia tersebut perkembangan kognitif anak, perkembangan fisik anak, serta hal lainnya sedang berjalan.
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa konsumsi gizi seimbang sangat berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak. Berdasarkan penelitian dari WHO, anak yang memiliki status gizi kurang mempunyai risiko kehilangan kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) sebesar 1.015 poin.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menambahkan komponen tumbuh kembang anak dalam rapor di sekolah dasar, yang berisikan berat badan, tinggi badan, kesehatan gigi, kesehatan mata, dan kesehatan penglihatan.
Namun, dalam penerapannya, belum diketahui sejauh mana sekolah bertanggung jawab atas data tersebut.
Salah satu orang tua sekolah dasar di Tangerang Selatan, Diah, mengatakan bahwa komponen tersebut memang terdapat di dalam rapor, tapi tidak pernah disinggung atau dibicarakan ketika pembagian rapor. “Mungkin karena baik-baik saja,” ujarnya.
Gizi Mendukung Prestasi, Mitos atau Fakta?
GREDU berkolaborasi dengan Lemonilo, mengangkat permasalahan di atas melalui webinar berjudul, “Sehat Itu Cerdas: Bangun Kebiasaan Makan Sehat, Yuk!” pada hari Rabu, 24 Februari 2021. Webinar ini mengundang dr. Dimple Nagrani, Sp.A, seorang dokter spesialis anak dan pendiri akun instagram edukasi mengenai parenting dan keluarga @happykids_id, Eko Agusnehing Purwaningsih, M.Pd, seorang guru sekolah dasar negeri di Kota Depok, serta Liliane Melissa yang saat ini menjabat sebagai Business Development Manager di Lemonilo.
Sebagai seorang dokter anak, dr. Dimple menjelaskan bahwa perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi anak.
Oleh sebab itu, konsumsi gizi seimbang berperan pada prestasi anak bukanlah sebuah mitos.
“Pada 1000 hari pertama atau usia nol hingga dua tahun, perkembangan otak sangat pesat dan didukung oleh konsumsi gizi seimbang. Ini adalah masa keemasan yang harus diperhatikan oleh orang tua. Kebiasaan makan anak juga dimulai dari sini,” jelas dr. Dimple.
Hal tersebut disepakati oleh Anne, sapaan akrab Liliane. Anne menambahkan bahwa penyakit tidak menular seperti diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler cenderung disebabkan oleh pola makan yang tidak baik.
Kata Anne, “Pola makan masyarakat Indonesia didominasi oleh konsumsi makanan yang tinggi kolesterol, gula, garam, makanan sintetis, dan pengawet. Akibatnya, 73 persen kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Upaya Sekolah Dukung Tumbuh Kembang Anak
Sekolah Dasar RRI Cisalak sebagai sekolah sehat tempat Eko mengajar, mengakali fakta di atas dengan mengadakan program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Salah satu kegiatannya adalah dengan mewajibkan anak membawa bekal dari rumah di setiap hari Jumat.
Melalui kegiatan tersebut, selain mendorong anak untuk mengurangi jajan sembarangan, sekolah berkesempatan mengontrol konsumsi gizi anak berdasarkan hasil pengamatan pada bekal yang dibawa.
“Meski tidak seratus persen, rata-rata terdapat signifikansi antara tumbuh kembang dengan prestasi anak. Ketika anak tidak nyambung saat diajak bicara, misalnya, itu adalah salah satu tanda-tanda yang perlu diperhatikan guru. Coba bicarakan dengan orang tua dan cek kondisi keluarga. Data-data tentang tumbuh kembang anak, terutama di sekolah dasar, sangat dibutuhkan oleh guru untuk bergerak cepat,” kata Eko.
Mengamati bekal yang dibawa anak juga merupakan upaya mengetahui kondisi keluarga. Eko masih kerap menemukan bekal anak berisi makanan cepat saji seperti nugget, atau mie instan tanpa lauk dan/atau protein. Ini menjadi topik yang perlu didiskusikan guru dengan orang tua.
Menanggapi fenomena tersebut, dr. Dimple menjelaskan bahwa masih banyak orang tua yang malas berkreasi dengan pilihan makanan anak karena terlanjur terlalu fokus hanya pada berat badan.
“Padahal, kita tidak bisa melihat status gizi seorang anak hanya dari berat badan. Kami (dokter anak) sama sekali tidak happy kalau berat badan di garis hijau, tapi makannya hanya nasi dan kecap” ujarnya. Selain itu, dr.
Dimple mengingatkan, tumbuh kembang anak yang baik bukan hanya dilihat dari berat badan, tapi juga tinggi badan dan lingkar kepala.
Akibat banyaknya orang tua yang hanya fokus pada berat badan, diketahui bahwa Indonesia mengalami double burden.
Di satu sisi, angka stunting masih mengkhawatirkan, tapi di sisi lainnya juga memiliki tingkat obesitas yang tidak kalah tinggi.
Anne memaparkan, karena pola makan Indonesia yang sangat berat pada konsumsi nasi putih, akibatnya obesitas juga rentan terjadi, bahkan di lingkungan ekonomi rendah.
“Ini terkait dengan konsumsi nasi. Orang Indonesia itu biasanya belum merasa makan kalau belum makan nasi. Padahal, nasi merupakan karbohidrat yang tidak dapat berdiri sendiri dan diganti dengan karbohidrat lainnya,” kata Anne.
Orang Tua sebagai Tonggak Gizi Baik Anak
Di sekolah, mengawasi konsumsi makanan anak memiliki tantangan tersendiri. Meski telah ada aturan untuk menjual makanan sehat di kantin, serta pengadaan sarana cuci tangan dan materi-materi kampanye untuk hidup bersih, masih banyak anak yang memilih membeli jajanan di luar sekolah.
Makanan warna-warni memang lebih menarik bagi anak-anak bahkan remaja, dan kebiasaan makan makanan seperti ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pihak; orang tua, sekolah, dan pemerintah setempat.
Eko mengingatkan bahwa sekolah tidak dapat bekerja sendirian dalam rangka mendukung proses tumbuh kembang anak yang lebih baik melalui pembiasaan pola makan sehat.
Ketika sekolah sudah berupaya dengan mengamati kebiasaan konsumsi makanan anak di sekolah dan membuat laporan berkala tentang berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala anak, ia berharap orang tua mau bekerja sama apabila laporan yang dihimpun menunjukkan situasi mengkhawatirkan.
“Kami (guru) akan memberikan informasi kepada orang tua ketika menemukan anak yang tumbuh kembangnya lambat. Biasanya kami memanggil orang tua atau melakukan kunjungan rumah untuk berdiskusi. Selain itu, strategi dan edukasi soal pemenuhan gizi anak juga dapat dipenuhi dengan keterlibatan mitra. Namun, penerapannya akan kembali lagi ke orang tua dan lingkungan keluarga,” jelas Eko.
Dokter Dimple menegaskan, pola hidup sehat harus dimulai dari orang tua. Anak adalah peniru yang ulung, dan mereka akan meniru pola makan orang tuanya.
Apabila orang tua rajin mengonsumsi kudapan, gula, atau makanan berkolesterol tinggi, maka akan sulit mengharapkan anak terbiasa mengonsumsi makanan sehat.
Selain memberi contoh, Anne menyarankan orang tua yang ingin anaknya menyukai makanan sehat seperti buah dan sayur agar memberikan ilustrasi yang mudah dipahami oleh anak-anak. “Anak tidak akan mengerti apabila kita bilang harus makan sayur agar pintar, lebih baik kita beri tahu bahwa sayur itu enak,” saran Anne. (Apriliana Dwi)
Discussion about this post