JAKARTA, MEDIAINI.COM – Setelah ada kebijakan relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sektor otomotif sebesar 0%, kini giliran sektor properti mendapat kelonggaran soal pajak. Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk melonggarkan beberapa ketentuan. Salah satunya membebaskan uang muka (down payment/DP) kredit kendaraan bermotor (KKB) dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui perbankan.
Dengan demikian, para calon konsumen properti dimungkinkan untuk tidak lagi membayar uang muka atau down payment (DP). Seluruh pembiayaan properti yang dibeli konsumen dengan memanfaatkan fasilitas kredit pemilikan rumah dan apartemen (KPR/ KPA) ditanggung oleh perbankan.
Berlaku Mulai Maret
Kebijakan tersebut untuk menggairahkan kembali industri otomotif dan properti yang setahun belakangan mulai menurun aktifitasnya. Hal ini ditetapkan bersamaan dengan keputusan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,50%. Kebijakan itu juga diikuti dengan menurunkan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan kebijakan membebaskan pajak untuk kembali menstabilkan perekonomian negara yang anjlok akibat pandemi Covid-19. “BI juga menempuh langkah-langkah kebijakan sebagai tindak lanjut sinergi kebijakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dalam Paket Kebijakan Terpadu untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi,” kata Perry Warjiyo secara virtual, baru-baru ini
Perry menerangkan, bank sentral melonggarkan ketentuan DP KKB paling sedikit 0 persen untuk semua jenis kendaraan. Untuk KPR, BI melonggarkan rasio Loan to Value (LTV) atau Financing to Value (FTV) paling tinggi 100 persen untuk semua jenis properti bagi bank yang memenuhi kriteria NPL atau NPF tertentu. Pembebasan pajak ini berlaku efektif mulai 1 Maret 2021 sampai dengan 31 Desember 2021.
Alasan Kebijakan Pajak 0%
BI akan terus mendukung upaya pemulihan ekonomi. Selain itu, BI akan memantau transmisi penurunan suku bunga tersebut ke industri perbankan.”BI mempublikasikan ‘Asesmen Transmisi Suku Bunga Kebijakan kepada Suku Bunga Dasar Kredit Perbankan’ untuk mendukung percepatan transmisi kebijakan moneter dan memperluas diseminasi informasi epada konsumen, guna meningkatkan tata kelola, disiplin dan kompetisi di pasar kredit perbankan,” tuturnya.
Selain untuk kepentingan konsumen, Bank Indonesia juga memberikan sejumlah kelonggaran bagi perbankan yang memenuhi kriteria non-performing loan atau non-performing financing (NPL/NPF) tertentu dengan menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden. “Hal ini dilakukan untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor properti dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko,” terang Perry.
Perry menegaskan, pelonggaran LTV/FTV ini merupakan bagian dari langkah Bank Indonesia sebagai tindak lanjut sinergi kebijakan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam Paket Kebijakan Terpadu untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas nilai tukar Rupiah yang terjaga, serta sebagai langkah lanjutan untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi nasional.
Ketentuan DP Rumah 0%
Seiring dengan dikeluarkan kebijakan makroprudensial itu, bank sentral menentukan beberapa persyaratan. Pelonggaran DP 0 persen rumah hanya bisa diberikan oleh bank dengan rasio kredit macet (NPL/NPF) di bawah 5 persen.”Penerapan rasio LTV sebesar paling tinggi 100 persen bagi bank yang memenuhi rasio NPL/NPF dan pelonggaran ketentuan pencairan kredit properti yang belum tersedia secara utuh, wajib memperhatikan prinsip hati-hati,” jelas ketentuan tersebut
Pelonggaran LTV/FTV paling tinggi 100 persen ini berlaku untuk rumah tapak, rumah susun, dan ruko/rukan, baik berdasarkan akad murabahah, akad istishna, akad MMQ, maupun akad IMBT. Rumah tapak yang mendapat kelonggaran adalah rumah tapak berdimensi kurang dari 21 meter persegi, antara 21 meter persegi hingga 70 meter persegi, dan lebih dari 70 meter persegi.
Ketentuan LTV/FTV 100 persen untuk rumah tapak, rumah susun, dan ruko/rukan ini juga berlaku bagi properti berwawasan lingkungan. Kelonggaran LTV/FTV ini juga berlaku untuk bank dengan rasio kredit/pembiayaan macet tinggi di atas 5 persen. Pembelian rumah tapak dan rumah pertama untuk tipe 21 di bank dengan NPL/NPF tinggi tetap mendapat kelonggaran paling tinggi 100 persen.
Namun, hal ini tidak berlaku untuk jenis properti lainnya. Kelonggaran untuk jenis properti lainnya hanya mencapai 90-95 persen. Untuk rumah tapak dan rumah susun pertama tipe 70 berdasarkan akad murabahah, akad istishna, akad MMQ, maupun akad IMBT misalnya, mendapat kelonggaran sebesar 95 persen.
Sementara untuk rumah tapak dan rumah susun kedua dan ketiga berdasarkan empat akad tersebut mendapat kelonggaran sebesar 90 persen. Adapun untuk rumah tapak berdimensi 21 meter persegi hingga 70 meter persegi mendapat kelonggaran sebesar 95 persen.
Sedangkan rumah tapak dan rumah susun kedua dan ketiga untuk tipe 21 mendapat kelonggaran 95 persen. Selain itu, bank sentral juga menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor properti, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. Kebijakan ini seluruhnya merupakan bagian dari Paket Kebijakan Terpadu Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi (PEN).(Ken)
Sumber Gambar : ilustrasi Pixabay
Discussion about this post