MEDIAINI.COM– Ramai pemberitaan salah satu produk susu dari brand Nestle, Bear Brand, sulit didapatkan karena permintaan lebih besar. Masyarakat mengalami panic buying. Meningkatnya permintaan susu beruang ini karena angka kasus Covid-19 mengalami lonjakan pada Juni 2021. Hal ini membuat harganya pun melambung, dari harga normal Rp 9 ribu/kaleng, kini dijual mulai Rp 14-50 ribu.
Langkanya susu beruang terjadi karena banyak masyarakat yang mempercayai bahwa susu produksi Nestle tersebut dapat meningkatkan imun dan menyembuhkan penyakit Covid-19. Hampir di seluruh wilayah Jawa kehabisan stok susu beruang, mulai dari Jabodetabek, Jawa Tengah, bahkan Surabaya. Tapi ternyata di Bali justru stok aman-aman saja. Harganya masih normal dan tersedia banyak stoknya di lemari pendingi supermarket. Bahkan jumlah pembelian per konsumen dibatasi.
Padahal menurut Profesor Zubairi Djoerban selaku Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) susu beruang tidak dapat menyembuhkan Covid-19 dan kandungan didalamnya tidak dapat membunuh virus dan penyebab Covid-19 dalam tubuh. Dia menganjurkan masyarakat tidak hanya mengonsumsi susu saja, tapi juga asupan sayuran, buah-buahan, vitamin, karbohidrat, protein, serta mineral yang tidak dimiliki susu. Sementara kandungan susu Bear Brand dengan kandungan susu kemasan lainnya sama. mulai dari protein, karbohidrat, kalium, hingga garam. Beberapa di antaranya ada yang mencantumkan kandungan vitamin dan mineral. Jadi, hal ini terjadi sebenarnya karena panic buying.
Apa Itu Panic Buying?
Fenomena panic buying sudah sering terjadi di Indonesia, apalagi pada masa pandemi Covid-19. Panic buying adalah tindakan masyarakat untuk membeli dan memborong barang-barang dalam jangka waktu yang singkat. Fenomena ini pun imbasnya akan menjadikan barang tersebut langka di pasaran. Seperti yang pernah terjadi pada setahun lalu sejak awal pandemi. Masyarakat memborong masker, hand sanitizer dalam jumlah yang banyak sehingga membuat harganya mengalami lonjakan berkali-kali lipat.
Dilansir dari TribunNews, Drajat Tri Kartono, Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) mengatakan bahwa fenomena ini terjadi karena demonstration effect. Ini terjadi ketika seseorang meniru perilaku yang banyak dilakukan oleh orang lain. Kemudian panic buying terjadi karena kepanikan barang tersebut akan hilang dalam jangka waktu yang pendek di pasaran. Hal ini membuat orang-orang memborong barang lebih banyak dari biasanya.
Bahkan panic buying ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dengan alasan membeli sebelum barang tersebut mengalami kenaikan harga yang tinggi. Selain itu, fenomena ini dapat didasari karena adanya sistem tatanan kehidupan yang tidak normal seperti di masa pandemi sekarang ini. Mulai dari ekonomi, kesehatan, bahkan sosial. Masyarakat banyak yang memborong susu beruang hingga obat-obatan Covid-19 yang dipercaya bisa menyembuhkan. Hal ini karena sistem pendukung kesehatan sudah tak mampu berjalan normal lagi.
Terakhir, panic buying juga terjadi karena adanya informasi negatif yang beredar di masyarakat. Sehingga kejadian ini mampu membuat barang tersebut jadi langka di pasaran dan permintaan dengan pasokannya tidak seimbang. Informasi negatif yang diterima bahkan dapat menimbulkan konsumsi seseorang secara simbolik saja. Serta dapat membuat orang membeli tanpa tahu produknya, namun didasari dengan simbol keyakinan saja. Jadi, pemerintah berperan penting untuk memberikan kepastian dengan informasi yang beredar di tengah pandemi ini.
Alasan Psikologi Panic Buying Terjadi
Rasa Ketakutan yang Muncul dan Menular
Tak hanya virus saja yang bisa menular, rasa cemas dan rasa ketakutan juga dapat menular. Panic buying membuat orang akan mengalami ketakutan dan cemas jika barang yang banyak dibeli orang-orang akan habis dan akhirnya dirinya tidak mendapatkan barang tersebut. Bahkan bisa menyebabkan orang di sekitarnya juga muncul rasa yang sama.
Pengambilan Keputusan Emosional
Ketika seseorang panik, maka keputusan yang diambil biasanya adalah keputusan emosional. Sebab ada dua cara berpikir yang sering digunakan, yaitu keputusan logis dan emosional. Sementara kedua cara tersebut memiliki sistem berpikir yang berbeda. Pikiran emosional ini sangat selaras dengan citra visual. Hal ini kerap dilakukan dibawah kesadarannya bahwa pikiran emosionalnya telah mengambil alih sebuah keputusan tanpa mempertimbangkan dengan matang.
Tidak Mau Menerima Hal Negatif di Masa Depan
Orang-orang yang tidak mau menerima hal negatif di masa depan adalah orang yang gagal berdamai dengan ketidakpastian. Di masa pandemi ini banyak yang melahirkan rasa frustasi karena belum siap menghadapi ketidakpastian di masa depan. Intoleransi ini muncul makin tinggi, utamanya bagi orang yang sering mengkhawatirkan remeh temeh dan memiliki gangguan kecemasan sebelumnya.
Rasa Kontrol Berlebih
Dapat mengendalikan situasi adalah keinginan yang cenderung dimiliki oleh banyak orang. Harapannya, control tersebut dapat membuahkan hasil. Tapi kecenderungan ini membuat sebagian orang sering panic buying menghadapi pandemi. Mulai dari membeli barang-barang dengan jumlah yang banyak, barang yang sedang dibutuhkan orang-orang. Akhirnya orang tersebut memiliki rasa mengendalikan sesuatu.
Kecemasan Antisipatif
Panic buying terjadi karena adanya kecemasan antisipatif atau ketakutan yang sebenarnya belum tentu terjadi. Seperti ketakutan kehabisan barang-barang mulai susu, masker, hand sanitizer, atau obat tertentu, padahal produsen sebenarnya masih terus memproduksi barang tersebut. Ketakutan ini setipe dengan rasa cemas yang muncul ketika seseorang akan menerima hasil laboratorium setelah mengikuti tes kesehatan.
Mentalitas Kelompok
Penyebab lain banyak orang menjadi panic buying ini adalah mentalitas kelompok. Manusia secara alami telah menafsirkan situasi berbahaya berdasarkan reaksi orang-orang disekitarnya. Saat naluri komunal muncul, orang akan berhenti mempertimbangkan sesuatu secara logis dan memilih mengambil keputusan yang sama. Sehingga saat semua orang panic membeli suatu barang, orang lain juga menjadi ikut membeli barang yang sama. (Gusti Bintang K.)
Foto Ilustrasi: Pixabay
Discussion about this post