MEDIAINI.COM – Berkunjung ke Kota Tegal maka wajib melipir ke warung makan legendaris, Warma Pi’an. Tidak hanya dikenal dengan rasanya yang abadi, warung makan ini punya sejuta cerita. Bayangkan saja, berdiri sejak 1926, warung makan ini jadi ikonik dari kota Tegal.
Didirikan oleh Nur rahman, 94 tahun lalu lokasi kuliner legendaris tegal tepat berada di depan stasiun kereta Tegal. Budi Santoso, generasi ketiga yang meneruskan usaha ini sejak 1997 bercerita panjang lebar dengan Mediaini.com, lika liku usaha keluarga yang tak habis dimakan zaman.
Bagian dari sejarah
Bagi sebagian pelanggan setia, Warma Pi’an bukan sekadar tempat makan melainkan bagian dari kisah kehidupan. Menurut Budi, Sang Kakek, Nur rahman menawarkan kuliner Nasi Lengko. Lokasi yang berada di depan stasiun juga menjadi tempat transit dan berkumpul.
Nama Warma Pi’an sendiri baru mulai dikenalkan sekitar tahun 1950-an, ketika Ayahnya, bernama Rapi’an meneruskan mengelola dan memilih namanya sebagai jenama.
“Ada cerita tersendiri sebenarnya dari nama Ayah, Pi’an diartikan juga dengan “punya informasi apa anda?”Makanya akhirnya berkumpul untuk tukar kabar dan berbagi informasi.
Terutama bagi pelajar, dulu ada sekolah Tionghoa yang berdiri apalagi jumlah warung makan terhitung jarang jadi Warmo Pi’an yang jadi tempat bertemu dan ngumpul,”kisah Budi Santosa yang berumur 46 tahun.
Baca Juga : Berjaya dengan Bisnis Keluarga, Ini Cara Mengelola dan Mempertahankannya
Miliki teh racikan andalan
Warmo Pi’an memiliki beberapa menu yang variatif dan pastinya membuat lidah terus bergoyang. Mulai dari Nasi Lengko, Sate Kambing, Gulai Kambing, Sop Ayam, dan menu lainnya. Harga yang ditawarkan pun mulai dari Rp 15ribu hingga Rp 50ribu.
“Nasi Lengko memang menu yang paling dikenal soalnya ada yang beda dibandingkan yang lain, sejak dari awal resep kakek sendiri kemudian berlanjut bapak dan sekarang saya, kami semua menggunakan campuran kentang, sehingga rasanya jadi beda dibandingkan dengan nasi lengko yang lain,”ucapnya.
Selain itu, menu wajib yang juga dinikmati adalah teh poci racikan yang hanya bisa dinikmati di warung makan karena tidak diperjualbelikan di luar.
“Menikmati makan agar semakin betah, Pak Pi’an dulu meramu teh, memang tehnya sendiri pesan langsung ke pabrik tapi kemudian diracik lagi dengan Pak Pi’an jadi rasa tehnya berbeda. Tapi untuk menikmati teh ini harus datang karena tidak untuk dibawa pulang,”jelas Budi yang bertitel sarjana ini.
Bertahan ditempa usia
Rata-rata pelaku bisnis makanan yang bisa bertahan hingga generasi ketiga terhitung sedikit, pasalnya mengelola bisnis keluarga bukan perkara yang mudah. Budi pun membagikan kiatnya kepada mediaini.com cara keluarganya bisa mempertahankan bisnis dan resep tradisi hingga tak termakan zaman.
“Sejak dulu kakek dan Ayah selalu mengajari anak-anaknya untuk bisa melayani pelanggan dengan cara berkomunikasi yang baik. Siapapun tamu yang datang, pasti disapa, ditanya asalnya sehingga tamu pun merasa senang dan dipedulikan.
Untuk pelayanan dan rasa semua tidak berubah justru terus diperhatikan sehingga saat selesai makan jadinya puas,”katanya bersemangat.
Terhitung tiga bulan yang lalu, Warma Pi’an berpindah lokasi masih tak jauh dari stasiun kereta Tegal tepatnya di Ruko Dwika, Jalan Kolonel Sudiarto. Hal ini terjadi karena lahannya termasuk dalam lahan terdampak revitalisasi kawasan Taman Pancasila, Kota Tegal bersama puluhan kios lainnya.
“Sudah buka di tempat yang baru ini tiga bulan dan sempat berhenti satu bulan beroperasional karena Tegal sempat ada kebijakan lockdown atau isolasi mandiri. Tapi semua sudah kembali normal, pelanggan juga sudah banyak yang datang lagi dan mencari,”tuturnya optimis.
Discussion about this post